Sunday, February 25, 2007

~ Hijrah Bagian (1) ~



Batam 14 January 2007

Seorang ikhwan menanyakan lewat email mengapa Rytha hijrah….karena sesuatu hal email tersebut tidak sempat terbalas….

Mungkin dengan sharing di sini bisa memberikan jawaban bukan saja buat beliau tapi kepada saudara saudara seiman lainnya yang sekarang masih dalam lingkaran hizbiyah….

Rytha tidak akan membahas dengan detail dari segi shar’inya karena inshaAllah sudah banyak sekali ulama-ulama ahlul sunnah yang lebih berkompoten yang membahasnya… InsyaAllah akan diberikan referensi kepada mereka yang berhati ikhlas dan memang benar benar mencari jalan yang benar dan lurus dan bersungguh sungguh untuk mempelajarinya…

Yang akan Rytha paparkan di sini adalah apa yang Rytha rasakan dan yang Rytha alami sendiri..

Afwan ini tidak di maksudnya dalam ber ghibah yang semata mata untuk menjelekkan suatu golongan akan tertapi dalam rangka menasehati. Seperti halnya apa yang Imam Nawawi katakan… "Ketahuilah bahwasanya ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar dan syar'i, di mana tidak mungkin sampai kepada tujuan tersebut, kecuali dengan cara berghibah, yang demikian itu disebabkan enam perkara : Yang keempat, dalam rangka memberi peringatan kepada kaum muslimin dari keburukan dan dalam rangka memberi nasehat kepada mereka, dan yang demikian itu dalam kondisi-kondisi berikut ini.

Di antaranya, dalam rangka menjarh (meyebutkan cacat) para majruhin (orang-orang yang disebutkan cacatnya) dari para rawi hadits dan saksi, dan yang demikian itu diperbolehkan berdasarkan ijma' kaum muslimin, bahkan bisa menjadi wajib hukumnya.

Rytha maksud kan tulisan ini sebagai nasehat… insyaAllah….

Rytha menulis judul tulisan ini sebagai Hijrah…. Tapi hijrah di sini bukan bermaksud berarti pindah tempat melainkan hijrah dari duduk dan bermajelis hizbiyah ke lingkungan yang bermanhaj salafus sholeh….

Di indonesia ada suatu hizbiyah [1] yang sangat berkembang pesat dan menguasai hampir sebagian besar aktifitas aktifitas keagamaan yang mereka menyebutkan dirinya adalah “tarbiyah” aka “ikhwani” aka “PKS” yang mengadopsi pemikiran ikhwanul muslimin [2]… dan menggunakan buku buku ulama mereka sebagai text books…

Awalnya keputusan untuk hijrah itu terasa sangat sulit… karena sudah terlanjur dekat dan sayang dengan teman teman se- liqo[3]. Melihat wajah wajah polos mereka, yang tanpa mereka sadari mereka jatuh dalam suatu lingkaran yang mereka percaya sebagai lingkaran da’wah yang sunnah. Mereka orang-orang yang bersemangat untuk memperjuangkan islam… Kadang hati semakin berat melihat jundi jundi kecil mereka yang polos….. Sangat sulit, ada perasaaan alangkah jeleknya meninggalkan saudara seiman tanpa terlebih dahulu melakukan sesuatu…..

Dulu Rytha berfikir Rytha lebih baik tetap berada di lingkungan tersebut dan melakukan perubahan sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuan Rytha… Toh sepertinya tidak ada bedanya…

Baru akhirnya di sadari hal tersebut tidak tepat..InsyaAllah nanti Rytha akan berbagi mengapa pemikiran tersebut tidak tepat.

Suatu prinsip yang mendarah daging bagi para ikhwah tarbiyah adalah selama semua kelompok-kelompok pengajian yang ada bertujuan untuk mencari keridhoan Allah dan surga, maka kelompok itu semua adalah benar. Menganggap bahwah perbedaan itu adalah fitrah, dan justru menambah "khasanah" kekayaan cara berpikir umat Islam. Benar-benar telah terdoktrin oleh pemikirannya Hasan Al-Banna, yaitu: "Marilah kita bekerja sama untuk hal-hal yang disepakati, dan saling menghargai untuk hal-hal yang berbeda". InshaAllah akan di share juga masalah ini nanti [kalau tidak kelupaan :)]

Berikut ini adalah beberapa hal yang Rytha temukan menjadikan alasan Rytha untuk hijrah. Rytha akan bagi beberapa poin…. Supaya jangan kepanjangan tulisannya akan di buat bersambung.. karena memang tulisan lengkapnya juga belum selesai :)

1. Murobbi.

Murobbi atau guru lebih di pilih karena factor kesenioritasan, berdasarkan lamanya seseorang tersebut bergabung. Sehingga tidak jarang di dapati bahwa kapasitas keilmuan seorang Murobbi lebih rendah dari mad’u nya (murid).

Seorang “murobbi” mengatakan bahwa fenomena itu adalah suatu fenomena yang biasa bahkan inilah yang disebutkan sebagai “tarbiyah” yang sebenarnya. Bahwa kita harus bersabar untuk menghadapi guru yang kapasitas keilmuannya lebih rendah dari kita…Tidak jarang dan tidak aneh kalau Murobbi membaca al Qur’annya lebih jelek dari mad’u nya… mungkin yang di maksud dalam hal ini liqo di harapkan sebagai saran yang saling melengkapi antara mad'u dan murobbi....

Memang banyak pelajaran dan materi liqo yang sesungguhnya bagus dan dzat materi tersebut yang di ajarkan para ulama ahlul sunnah (seperti materi ma’rifatullah, ma’rifaturrasul dan lain lain ), tapi bila materi penting ini di sampaikan oleh murobbi yang belum tentu memiliki ilmu dan pemahaman yang baik, maka ini akan menyesatkan.

Mungkin mereka akan membantah bahwa liqo yang sangat sebentar itu sangat mustahil untuk mencetak ahli syariah dan hanya lebih menekan kepada pembentukan generasi yang berwawasan dan berkepribadian Islami…

Tapi fungsi dari murobi sendiri di sini di harapkan murobbi bisa menjadi orang tua, sahabat pemimpin dan guru pada mad’u nya. Selayaknya kapasitas seorang guru yang menyampaikan ilmu haruslah yang memiliki ilmu.

Dari pengalaman yang Rytha lihat di lapangan, setiap orang di tarbiyah bisa menjadi murobbi. Setiap kader di harapkan menjadi murobbi, harus siap siapapun yang di tunjuk untuk menjadi murobbi.

Banyak yang menolak karena merasa kapasitas keilmuannya belum memadai. Tapi biasanya orang tersebut akan di nasehati bahwa kita harus berdawah walaupun untuk satu ayat. Kalau menunggu paham sampai siap… kita tidak akan pernah berda’wah.

Di sisi yang lain mereka memerlukan kader yang pro aktif untuk menjadi murobbi karena adanya target prekrutan besar besaran untuk mencapai target beberapa persen dalam pemilu. Jadi di harapkan kader “senior” yang belum memiliki bimbingan (mad’u) harus berusaha mencari bimbingan. Bahkan ini di anggap suatu ke aiban bila sudah lama liqo’ tapi masih tidak memiliku mad’u.

Na’uzubillah… ikhwah yang paham pasti dapat merasakan alangkah berbahayanya pemikiran pemikiran seperti ini….. tapi ikhwah yang sudah berada di tarbiyah ikhwani pasti sangat paham dengan apa yang Rytha katakan…kalau benar benar jujur tidak akan menyangkal fenomena fenomena ini.

Memang benar Rasulullah sallahu alahi wassalam mengatakan bahwa sampaikanlah walau hanya satu ayat. Tapi ini berarti bahwa kita harus menyampaikan benar benar sesuatu yang sudah kita pahami dan kita kuasai… dan seharusnya berda’wah sesuai dengan kapasitas yang benar benar kita pahami… Dan bukanlah menjadi kewajiban setiap orang untuk menjadi murobbi dan guru.

Menjadi Murobbi dadakan atau menjadi murobbi karena di paksakan tanpa mengetahui ilmu syar’i secara benar justru akan menyesatkan…. Hanya berdasarkan belajar dan membaca semalam buku buku syar’i dalam rangka menyampaikan materi…. Ini bukan suatu hal yang menjadikan seorang tersebut sebagai murobbi……

Kalau ingin berfikir jernih dan jujur ini bisa menjadi bibit munculnya pemikiran pemikiran yang salah… dan menimbulkan kebid’ahan kebid’ahan….

Mungkin ada ikhwah yang mengatakan bahwa liqo yang hanya 2 or 3 jam [walau kadang bisa molor sampe seharian tidak jelas]… tidak mungkin sempurna dan hanya sempat disampaikan beberapa hal hal penting saja, jadi para mad’u di harapkan menambah keilmuan lainya karena mereka memiliki perangkat “tarbiyah” yang lain seperti dauroh, mabit, tatsqif, membaca buku dan lain lain.

Ada baiknya kalau begitu para ikhwah tarbiyah juga mengikuti ta’lim dan dauroh ilmiyah dan membaca buku buku ilmiyah yang bermanhaj salaf yang di tulis oleh ulama ulama ahlul sunnah…. (Rytha yakin banyak ikhwah ikhwani yang tidak mengenal siapa yang di sebut ulama ) kebanyakan dari mereka hanya mengenal Hasan Al banna…. Said Qutb, Muhammad Ghazali, Yusuf Qordhawi, Said Hawa dan yang sejenisnya….) Tapi bukan mereka yang Rytha maksud sebagai ahlul sunnah….

InsyaAllah pada kesempatan lain akan di sampaikan beberapa ulama yang karya karya mereka yang patut di jadikan rujukan…. Ini akan lebih baik daripada ikutan mabit yang merupakan malam ke bid’ahan atau membaca buku buku ulama ulama tersebut di atas yang banyak menyimpang dan di kritik ulama ulama ahlul sunnah….

Setiap orang tidak harus menjadi murobbi.. bahkan seorang ulama besar ahli hadis abad ini Syaikh Nasiruddin Al banni beliau mengatakan diri beliau sebagai thollabul ilmy.. penuntut ilmu.

Kalau kita tidak memiliki kapasitas dalam bidang syar’i ini malah menjadi wajib bagi kita untuk tidak menyampaikan hal hal yang kita tidak pahami karena Allah sendiri melaknat orang orang yang menyampaikan apa apa yang dia tidak ketahui.

Rytha masih ingat dengan penuturan seorang Murobbi yang juga seorang istri ustadz bahwa beliau mengaku beliau sih memang tidak paham tentang ilmu syar’i tapi beliau lebih banyak akan berbagi pengalaman hidup. … bisa di bayangkan pengajian lebih banyak di gunakan untuk berbagi pengalaman pribadi, praktek deen hanya banyak didasarkan pada pengalaman dan interpretasi sendiri.. dan menurut apa apa yang di rasakan …..
Keminiman keilmuan seorang murobbi membuat liqo’at terkadang hanya untuk membuang buang waktu.. Dapat di bayangkan seorang wanita terkadang harus meninggalkan rumah, meninggalkan anaknya atau membawa anaknya untuk berdiam di suatu tempat yang akhirnya berhasil pada kesia siaan…

Rytha bisa merasakan bagaimana merasa sia sianya terkadang seseorang meninggalkan aktifitasnya hanya untuk berkumpul tampa menghasilkan hal berarti…

Pernah seorang murobbi membahas tentang bagaimana kita harus bersikap ramah terhadap sekeliling… kita harus menebar senyum…dan beliau memberi contoh dari prilaku seorang yang baik di lingkungan beliau… sampai pada suatu titik dimana kita juga harus senyum pada orang pemabuk yang merupakan laki laki non mahram… dikala disampaikan ketidak setujuan…...beliau berusaha mengukuhkan pendapat beliau dengan “pengalaman pribadi beliau” dan cerita pengalaman orang lain… sangat jauh dari tinjauan fiqih dan shar’i yang syarat dengan hadist dan ayat dan juga fatwa fatwa ulama ahlul sunnah.. subhanallah…

Murobbi yang lain… menyampaikan materi dari buku… sepanjang pengajian beliau akan membaca dari buku dan sesekali akan memberkan penjelasan … bukan penjelasan atsar…. Tafsir atau syarah.. atau perkataan ulama.. melainkan penjelasan secara logika .....

InsyaAllah bersambung.


Note : Jangan ketinggalan untuk mempelajari link link yang Rytha berikan di footnote, inshaAllah ini akan lebih memberikan pemahaman yang lebih baik tentang apa yang di tulis... wallahualam...



Fote Note :


[1]



[2]





[3] Istilah pengajian berkelompok sering di sebut liqo.

3 comments:

Anonymous

BismillaahirRahmanirRahim.

Assalamu'alaikum warahmatullaah wabarakatuh.

MashAllaah. Lahaula wala quwata ila billaah.

Dina tunggu kelanjutannya mbak.
Nanti kalau sudah selesai tulisannya, ijinkan dina untuk ngeprint and diberikan ke teman-teman ya mbak.

BarakAllaahu fikh.

Wassalamu'alaikum.

Anonymous

Saya seorang muslimah yang lagi browsing.

Wah saya sangat setuju, karena begitu lah adanya. Saat ini teman saya juga mengalami dilema, sedang 'dipinang' untuk menjadi murobbi. Namun teman saya itu merasa sangat kurang ilmu, dan takut menyesatkan.

Nah saya mencoba membantunya untuk mencari alasan yang syar'i untuk menolak, saat browsing di internet saya menemukan uraian Mbak yang bagus ini.

Sayangnya tidak ada dalil atau atsar atau apapun yang ilmiah tentang 'betapa buruknya ide ber-murobbi ria'. Sebagai orang yang mengacu pada manhaj ahlussunah, saya bingung, bagaimana menjelaskan bahwa menjadi murobbi itu tidak segampang itu, dengan dalil yang kuat dan ilmiah (jelas kesahihannya).

Sehingga semua ini tidak hanya menjadi sekedar opini, tapi tausyiah yang bermanfaat, insya Allah.

Ibarat penyelidikan tindakan pidana, tulisan di blog Mbak ini adalah sebuah kasus yang sudah diakui oleh saksi yang sah, tidak ada alibi untuk berlindung,

sayang belum ada bukti, satupun....

Wallahu 'Alam.

Anonymous

Semakin lucu saja, makin banyak orang yang pemahamannya tidak komprehensif.